Friday, January 30, 2015

Mendaki dan Berbagi

Seingatku ini adalah pendakian terakhirku bersama Raya Buana Semesta sebelum kami lulus. Kami berdua puluh orang saat itu, akan mendaki Gunung Lawu. Sebagian besar peserta adalah sahabat seangkatanku dengan formasi lengkap; Eko, aku, Roni, Tata, Ningrum, Arsi, Aji, dan Jaya serta beberapa adik kelasku. Kami sengaja menyiapkan pendakian ini jauh-jauh hari sebelumnya, karena momen ini sangat istimewa, seperti sebuah, pesta perpisahan ala kami.

Rute yang dipilih adalah jalur pendakian dari Cemoro Sewu di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Gunung Lawu sendiri terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.Ada tiga rute pendakian umum yang biasa digunakan para pendaki, yaitu melalui Candi Cetho di Karanganyar, Jawa Tengah, melalui Cemoro Kandang di Tawangmangu, Jawa
Tengah, dan melalui Cemoro Sewu di Sarangan, JawaTimur.


Setiap rute memiliki keunikan tersendiri, tetapi khusus untuk rute Candi Cetho saat ini sudah jarang dipakai karena rutenya sangat panjang dan bisa memakan waktu dua sampai tiga hari untuk mencapai puncak. Keistimewaannya, melalui rute ini para pendaki akan melewati reruntuhan bekas Candi Cetho, sebuah candi peninggalan masa Kerajaan Majapahit pada abad kelima belas. Namun rute ini tidak mudah dilalui, bahkan kami sempat mendengar berita mengenai hilangnya seorang pendaki yang terpisah dari rombongannya saat mendaki melalui rute ini. Setelah ditemukan beberapa hari kemudian, ternyata pendaki itu telah meninggal dunia karena tak mampu melawan terpaan hawa dingin selama berhari-hari dalam perjalanan menuju puncak. Kubayangkan betapa sedihnya dia, berada dalam kesendirian dan mungkin ketakutan di masa akhir hidupnya.
 

Rute kedua adalah melalui Desa Cemoro Kandang yang terletak di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Rute ini tidak terlalu menanjak dan pemandangannya sangat indah, bisa ditempuh dalam waktu delapan sampai sembilan jam pendakian. 

Rute terakhir adalah melalui Desa Cemoro Sewu di Kelurahan Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Pendakian melalui rute ini akan melalui sumber mata air yaitu Sendang Drajat.

Meskipun tanjakan-tanjakannya lebih tajam, rute Cemoro Sewu kami pilih karena melalui jalur ini kami perkirakan akan lebih cepat sampai di puncak daripada melalui rute Cemoro Kandang. Jalan di rute ini sudah teratur rapi, terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata dengan apik.


Untuk sampai ke Cemoro Sewu, kami menggunakan bus umum dari Semarang ke Solo. Selanjutnya kami berganti bus jurusan Tawangmangu dan terakhir berganti lagi dengan angkutan kota menuju Cemoro Sewu kira-kira sejauh delapan kilometer. Cemoro Sewu terletak di tepi jalan raya menuju Sarangan.


Desa Cemoro Sewu terletak di ketinggian 1.800 meter dari permukaan laut. Daerahnya sangat subur, tampak hijau dan bersih, sangat menyejukkan mata. Penduduk Cemoro Sewu sebagian besar adalah petani. Mereka sangat ramah terhadap para pendatang dan sangat peduli terhadap kebersihan lingkungannya. Malahan seingatku penghargaan Kalpataru pun pernah mampir ke desa ini.



Sebelum naik ke puncak, kami sempat beramah tamah dengan beberapa penduduk. Ada sedikit oleh-oleh untuk mereka berupa buku-buku bacaan yang sengaja kami kumpulkan untuk disumbangkan. Kami memang ingin membuat pendakian terakhir ini lebih spesial, lebih berkesan. Karenanya kami semua sepakat untuk sedikit berbagi dengan membawakan buku-buku untuk sebuah rumah baca yang ada di sana.
 

Rumah baca itu sebenarnya hanya berupa bagian kecil dari teras rumah seorang warga yang merelakannya untuk menjadi tempat belajar anak-anak dusun sepulang sekolah. Ada sebuah
rak buku di situ, yang isinya adalah beberapa majalah dan buku-buku terbitan lama.


Kulihat beberapa anak langsung menyerbu buku-buku yang kami bawa setelah kami serahkan kepada pengelola rumah baca. “Terimakasih ya Kak, bukunya bagus-bagus,” sapa seorang anak perempuan yang kira-kira duduk di kelas empat sekolah dasar.


“Sama-sama sayang, tolong dirawat ya, boleh dipinjam tapi jangan sampai rusak,” jawab Ningrum dengan sikap keibuannya yang khas.
 

“Iya Kak. Nanti kalau Kakak-kakak ke sini lagi jangan lupa bawa yang lebih banyak ya,” kata Dila -anak perempuan tadi- dengan manja.

Kami semua hanya senyum-senyum dikulum mendengar perbincangan itu. Senang rasanya melihat generasi penerus yang haus akan ilmu seperti mereka.


Setelah acara penyerahan buku dan ramah tamah selesai, kami menumpang di rumah warga sambil beristirahat sejenak menunggu saat pendakian tengah malam nanti. Kami memang
menghindari pendakian di siang hari karena medan yang cukup berat untuk pemula.



***

* Dikutip dari Buku "Edelweiss Terakhir" karya Endah Widowati


No comments:

Post a Comment